Kamis, 27 Mei 2010

yang terbaik tak selalu sesuai harapan

yang terbaik tak selalu sesuai harapan .
yep, itulah judul yang gua pilih akhirnya untuk tugas cerpen gua dari pa agus .
pengen minta komentar orang-orang tentang cerpen gua ini .
minta ke-ikhlasannya untuk baca ya, trus komen, makasi :D

inilah cerpennya ...


Yang Terbaik Tak Selalu Sesuai Harapan

Ya Allah berikanlah yang terbaik untukku, entah itu diterima atau tidak

Aku pasrahkan semuanya padamu, amin amin amin ya Allah

Setelah selesai berdoa, ibuku tiba-tiba memanggil, “Ka, kaka, ada telefon dari indri, cepat kesini sayang.”

“Iya bu, sebentar”

Akupun menghampiri ibuku yang sedang memegang gagang telefon, “Terimakasih, bu.” Ibuku pun tersenyum. Kemudian aku pasang telingaku ke gagang telefon dengan perasaan tegang, sepertinya aku tahu apa yang akan dibicarakan indri.

“Assalamualaikum, indri” aku memulai percakapan

“Waa’laikumsalam, berapa nomor pesertamu ?” indri menjawab dengan nada terisak, aku semakin tegang.

“507, ada apa ?”

“Sebentar.” aku terdiam. “Selamat kau diterima di smansa.” Tut tut tut, telefon terputus. Aku terkejut setengah mati, tak percaya dengan apa yang tadi ku dengar. Alhamdulillah, itulah kata pertama yang meluncur dari mulutku. Seperti dugaanku pasti hasil pengumuman tes SMA yang akan dibicarakan indri. Tapi yang aku pertanyakan adalah mengapa suara indri seperti terisak. Aku putuskan untuk menelefon indri. Setelah terdengar suara dering beberapa kali,

“Hallo.” Aku yakin ini suara indri maka aku langsung bertanya, “Kau kenapa Ndri ? kenapa suaramu terdengar terisak?”

“Aku tidak diterima Kei, sudah ya.” Telefon pun terputus kembali dan aku mengerti Indri benar benar menangis.

Indri Adi Fitriani adalah teman dekatku sejak kelas 7 smp. Aku dan dia sangat dekat sudah seperti saudara sendiri, keluargaku dan keluarganya pun sudah saling mengenal. Dialah yang mengajakku untuk melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 1, padahal sejak kecil aku ingin bersekolah di SMA Negeri 3 jika aku lulus SMP. Tetapi Allah berkehendak lain, Ia menginginkan aku bersekolah di smansa, sekolah terfavorit di kotaku, dan aku tahu itulah yang terbaik untukku. Aku yakin ia sangat kecewa, tapi aku lebih yakin, itulah yang terbaik untuknya.

Setelah menutup telefon, aku segera memberi tahu ibu, ayah, dan adikku bahwa aku diterima di smansa. Mereka sangat senang, apalagi ibu dan ayahku, mereka mengucap rasa syukur berkali kali.

Siangnya aku bersama teman-temanku yang lain datang ke smansa untuk mengambil surat pengumuman. Di smansa aku melihat banyak anak lain kegirangan karena diterima, tetapi tak sedikit anak yang menangis sampai tersedu-sedu karena tidak diterima. Aku memilih untuk menenangkan teman-temanku yang menangis karena tidak diterima, termasuk Indri.

***

Sebulan setelah pengumuman hasil tes, aku tidak lagi berangkat sekolah ke SMP Negeri 2, melainkan ke SMA Negeri 1 untuk menjalankan MOS selama seminggu. Ya, MOS, Masa Orientasi Siswa yang sangat melelahkan dan menguji mental. Tetapi aku tidak boleh cepat menyerah, aku harus selalu bersemangat, ini baru perkenalan dari kehidupan yang akan ku jalani nanti di smansa. MOS mempertemukan aku dengan banyak teman baru dan dengan X-6. X-6 adalah kelasku di smansa, isinya anak-anak luar biasa yang penuh dengan tawa. Seminggu telah cukup membuat kami sekelas akrab dan kompak.

Waktu terus berjalan, memperkenalkanku dengan kehidupan SMA. Akupun mulai menemukan teman dekat, diantaranya teman sebangku ku Rista, Ifa, dan Sarah. Kita sering menghabiskan waktu bersama. Sampai kami begitu dekat dan saling terbuka satu sama lain. Tetapi ekskul dan organisasi yang ingin kita ikuti berbeda. Aku ingin menjadi anggota OSIS, dan mengikuti ekskul tari. Rista ingin menjadi anggota MPK. Ifa ingin mengikuti eksul paduan suara. Sedangkan sarah ingin mengikuti ekskul bulutangkis.

Rista yang paling awal mengikuti tahap tes untuk menjadi anggota MPK, dan ternyata ia diterima. Kemudian Aku mengikuti tes OSIS, akupun diterima. Tes memang diperuntukan untuk orang-orang yang ingin menjadi anggota OSIS dan MPK, sedangkan untuk ekskul tidak diadakan tes, jadi Ifa dan Sarah tidak menjalani tes. Setelah diterima di organisasi masing-masing, aku dan Rista harus melewati sebulan penuh tahap pematangan yang disebut regenerasi.

Selama regenerasi, setiap hari aku pulang malam, lalu sesampainya di rumah aku tidak bisa menikmati sedikit pun waktu untuk beristirahat karena masih ada banyak tugas regenerasi yang harus aku kerjakan. Waktu untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah pun tersita. Kemudian sepertinya orang tuaku mengkhawatirkanku dengan keadaan seperti ini, hingga suatu hari teguran itu datang. Saat waktu menunjukkan pukul 9 malam, aku baru sampai rumah. Ketika aku membuka pinta ayah dan ibuku sudah menunggu di ruang tamu. Tak ada senyum terulas di bibir keduanya, yang ada hanyalah raut muka serius penuh amarah. Akupun mulai tegang, ketika aku menyalam pada kedua orang tuaku, ayah menyuruhku duduk disebelahnya dan ia berkata dengan serius, “Tidakkah kau lelah dengan semua ini ?”

Tenggorokan ku tercekat, aku terdiam tak bisa menjawab pertanyaan ayahku. “Ayah dan ibu saja sudah lelah melihatmu setiap hari pulang malam dengan wajah kusam kelelahan. Tidak sampai disitu saja, kau jadi jarang makan karena terlalu banyak tugas. Kau tak akan makan bila ibu tidak mengingatkanmu. Mana waktumu untuk belajar ? Jangankan untuk belajar, untuk mengerjakan pr saja mungkin tidak ada, iya kan ?” Aku hanya bisa menundukan kepala dan diam, lalu ayah melanjutkan, “Bagaimana nilaimu di sekolah kak ? Ayah dan ibu menyekolahkanmu bukan hanya untuk belajar organisasi, yang utama adalah untuk menuntut ilmu. Kau ingat kan apa cita-citamu ? Tidak mudah menggapai itu semua. Ayah dan ibu tidak melarang bahkan sangat mengizinkan jika kau mengikuti organisasi, tetapi tidak begini caranya. Ka pikirkanlah baik-baik.”

Ibu ku pun bersuara, “Ibu rindu senyummu, sayang. Sudah lama ibu tidak melihatnya, setiap hari ibu hanya melihat kau pulang dengan wajah lelah. Ibu tidak mau kehilangan senyum ceriamu.”

Aku masih tetap diam, merenungkan kata kata ayah dan ibuku. Tenggorokanku tercekat. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya lagi perlahan, berusaha menenangkan diri. Beberapa detik kemudian aku memberanikan diri untuk berbicara, “Ayah, ibu maafkan aku apabila aku telah membuat kalian khawatir atau kecewa, jujur tidak jarang aku mengerjakan pr di sekolah, tetapi percayalah padaku setelah regenerasi ini berakhir, aku akan merubah semuanya, aku akan mengejar pelajaran yang tertinggal dan nilaiku yang mulai turun, ayah dan ibu percaya kan padaku ?” Ayah dan ibuku mengangguk. Dan aku bertanya lagi, “Bolehkah aku pergi ke kamar sekarang ?” Ayah pun mengangguk lagi dan tangan sebelahnya mengelus kepalaku, aku merindukan elusan kepala itu sejak aku jarang bertemu ayah ibuku karena rutinitas baruku.

Aku langsung berlari, menyusuri anak tangga untuk mencapai kamarku yang terletak di lantai 2 rumahku. Sesampainya di kamar, aku mengunci pintu dan langsung merebahkan tubuhku di kasur empuk kamarku. Aku menatap langit-langit kamarku, kata-kata ayah dan ibuku terus terngiang di telingaku.

“Bagaimana nilaimu di sekolah ka ? Ayah dan ibu menyekolahkanmu bukan hanya untuk belajar organisasi, yang utama adalah untuk menuntut ilmu. Kau ingat kan apa cita-citamu ? Tidak mudah menggapai itu semua.”

“Ibu rindu senyummu, sayang. Sudah lama ibu tidak melihatnya.”

Dadaku terasa sesak, tak kuat lagi menahan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipiku. Aku menangis. Aku memang sangat lelah, sangat amat lelah dengan semua ini, tapi aku harus kuat.

***

Keesokan harinya di sekolah saat pelajaran matematika, nilai ulangan dibagikan. Ketika namaku dipanggil, aku maju kedepan, menghampiri meja guru.

“Novelia Keilanissa.” Guru itu menatapku, ia melihat kertas ulanganku, lalu berkata, “kamu mengikuti OSIS ya ?” tanpa menunggu jawabanku, ia melanjutkan, “Kenapa nilaimu turun seperti ini ? Jangan maju di organisasi tapi nilai turun, nanti ibumu marah kalau nilaimu seperti ini terus. Ibu harap kamu bisa memperbaikinya.” Aku menerima kertas ulanganku dan menjawab, “Baik bu, terima kasih.”

Aku menatap nilai yang tertera di kertas itu. Mataku memanas, tapi aku harus bisa menahan supaya air mataku tidak jatuh.

“Kau kenapa ?” aku tersentak mendengar Rista bertanya. Aku tidak menjawab, aku hanya bisa memperlihatkan kertas ulanganku, dan Rista mengangguk mengerti.

“Aku sangat lelah ta, belum lagi masalah kenakalan adikku. Kemarin ketika aku pulang sekolah, saat aku ada di pintu rumahku, aku mendengar tangis dan jeritan, sudah kuduga itu pasti adikku yang mengamuk karena ayah dan ibu tidak menuruti kemauannya. Benar saja, saat aku masuk rumah, keadaan rumahku sudah seperti kapal pecah. Adikku sangat keterlaluan, sangat tidak bisa diharapkan.” Aku menjelaskan, lalu menundukkan kepala kembali. Rista mengusap bahuku. “Percayalah, Allah memberimu cobaan ini karena Allah percaya kamu bisa melewatinya.”

Ternyata Allah belum berhenti menegurku, Allah kembali menegurku lewat nilai ini, mengingatkanku tentang pelajaran, nilai yang harus ku pertahankan.

***

Setelah regenerasi berakhir, aku pun menepati janjiku pada ayah dan ibu untuk mengejar pelajaran yang tertinggal dan nilaiku yang turun. Tapi hal yang tidak bisa dielakan adalah aku tetap sibuk, ada banyak program kerja OSIS yang harus dilaksanakan. Walaupun tidak sesibuk saat regenerasi. Mungkin inilah kehidupan anak organisasi di masa SMA, tapi anak-anak OSIS sangat menyenagkan, itulah yang membuatku bertahan, mereka sudah kuanggap keluargaku sendiri, aku menyayangi mereka semua.

Pembagian rapot telah datang. Ini lah yang akan membuktikan pada ayah dan ibu berpengaruh tidaknya kegiatanku di OSIS bagi pelajaran dan nilaiku, ini juga bukti bisa tidaknya aku menepati janji pada ayah dan ibu. Pukul 10 para orang tua murid sudah berkumpul di ruang kelas untuk pembagian rapot. Aku dan teman-teman menunggu dengan hati was-was di depan kelas. Satu persatu rapot dibagikan dan satu persatu orang tua keluar dari kelas membawa sebuah map berwarna merah yang tentunya berisi buku rapor. Hingga pada giliran orang tuaku yang keluar, ayah dan ibuku memandangku, lalu tersenyum, “Selamat ka, kamu berhasil membuktikan pada ayah dan ibu, kau bisa menepati janjimu.” Kata Ayah, kemudian menyerahkan rapornya padaku.

Aku membalas senyum mereka dan menerima raporku, lalu aku membuka raporku, aku melihat deretan angka 8 disana. Memang aku belum bisa mendapat nilai 9, tapi betapa senangnya hatiku saat ini, usaha dan kerja kerasku selama ini tidak sia-sia. Lalu ayah merangkulku, mengajak aku pulang ke rumah.

***

Ketika semester 2 dimulai, ada sosialisasi program pertukaran pelajar dengan negara lain dan aku pun tertarik mengikuti pertukaran pelajar tersebut. Aku langsung membeli formulir beberapa hari setelah sosialisasi tersebut bersaam Sarah. Sayangnya Rista dan Ifa tak berminat mengikuti pertukaran pelajar. Dalam formulir tersebut tertera beberapa pilihan program yang bisa diikuti, diantaranya program dua minggu dan program setahun. Aku menceklis keduanya. Sedangkan Sarah hanya menceklis program setahun.

Setelah mengikuti tahap pendaftaran, aku bersama 800 siswa SMA lain di kota Bogor mengikuti tahap penyisihan. Sekitar 200 orang yang akan lolos tahap ini.

Sehari sesudah tes tersebut Sarah tiba-tiba membahasnya di kelas, “Kei, aku sangat takut tidak bisa lolos tes ini, aku sangat ingin mendapat pengalaman ke luar negeri, aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak lolos.”

“Ah, kamu belum apa-apa sudah negative thingking , ayo semangat ! kamu harus percaya diri dan terus berdoa pada Allah, Sar.” Ujar Ifa yang diam-diam ternyata mendengar perkataan Sarah.

Aku tersenyum melihatnya, “Bener tuh, yang dikatakan Ifa, ga boleh negative thingking. Kita harus percaya satu hal, lolos atau tidaknya kita itulah yang terbaik untuk kita. Ingat Allah selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya, walaupun tidak selalu dengan keinginan kita.”

“Kau memang selalu bisa menenangkan hatiku, Kei. Terima kasih.” Ujar Sarah. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian kami kembali larut dalam pelajaran.

***

Pengumuman hasil tes pertukaran pelajar pun sudah keluar. Alhamdulillah aku dan Sarah lolos tahap pertama. Namun kami tidak bisa bersenang-senang dahulu, karena masih ada satu tahap lagi yang harus kami lewati.

“Aku sangat tidak menyangka, aku bisa lolos.” Itulah ekspresi Sarah dengan wajah penuh rasa riang.

“Makanya jangan negative thingking dulu.” Seruku sambil tertawa kecil.

Seminggu setelah pengumuman itu, aku dan Sarah mengikuti tahap kedua. Rasa was-was sangat memenuhi hati kami menunggu nama kami tertera atau tidak di halaman web lembaga pertukaran pelajar tersebut. Kemudian saat pengumuman tiba, aku, Sarah, Ifa, dan Rista memutuskan untuk membuka web itu bersama.

PP-046 -NOVELIA KEILANISSA

PP-075-TIKA FEBRIANI

Selamat kepada para peserta yang telah lolos. Para nama di atas diharapkan datang …

Belum selesai aku membaca web itu, Sarah langsung memelukku, “Selamat ya, kei.” Aku melihat air mata membasahi pipi Sarah, tapi Sarah tersenyum. Aku terdiam, masih bingung mau berkata apa, belum percaya dengan apa yang kubaca tadi. Lalu Sarah melanjutkan, “Aku ikhlas, percayalah. Allah selalu memberikan yang terbaik bukan untuk kita ?”

Aku tertegun mendengar kata-kata Sarah, kagum. Betapa dewasanya ia. Aku tersenyum, lalu memeluknya, berharap bisa menghilangkan kekecewaan yang dirasakan Sarah.

***

Beberapa hari kemudian, aku datang ke tempat yang telah ditentukan oleh lembaga pertukaran pelajar. Saat itu diberitahu, program apa yang akan kita ikuti. Belum habis tasa terkejutku karena lolos tes , ternyata aku mendapatkan program setahun ke Jerman. Aku tidak mau memikirkan itu dulu, aku mau memberitahu ayah dan ibu.

Sesampainya di rumah, aku langsung berlari memeluk ibuku.

“Ibu, Alhamdulillah bu aku terpilih mengikuti program setahun ke Jerman.”

“Benarkah ? Ayahmu pasti akan senag sekali mendengarnya, tapi ia belum pulang dari kantor.”

“Iya, yasuda, nanti malam biar aku yang memberitahu ayah, ibu tidak boleh mengatakan apa-apa, okey ?” ujarku sambil mengacungkan jempolku. Lalu ibu mengacungkan dua jempolnya. Aku langsung menghambur menaiki tangga untuk masuk ke kamarku.

***

Aku baru akan berangkat ke Jerman setelah penerimaan rapor saat kenaikan kelas nanti. Tak sehari pun ku lewati tanpa tawa dengan Rista, Ifa, Sarah, dan anak-anak OSIS, karena pasti aku akan sangat merindukan mereka nanti.

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Kenaikan kelas pun sudah terlewati, kali ini aku bisa mendapatkan angka 9 di beberapa mata pelajaran. Semua surat-surat yang terkait dengan keberangkatanku pun sudah selesai ku urus. Dan tak terasa besok aku harus berangkat ke Jerman. Aku mulai membereskan barang-barangku. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara suatu barang dibanting. Aku langsung turun ke bawah. Dan melihat adikku yang sedang mengamuk, pecahan vas bunga, dan ibuku yang duduk tercengang.

“Ada apa ini bu?” tanyaku pada ibu.

“Adikmu ingin main mala mini, tapi ibu tidak memperbolehkannya karena sudah tiga hari berturut-turut ia main malam.” Jawab ibu.

Aku menghampiri adikku, “Liv, aku tahu ini hari libur, tapi tidak sebaiknya kau main malam setiap hari. Apa kata para tetangga nanti. Lebih baik kau belajar sedikit-sedikit setiap hari, agar nanti nilaimu tidak jeblok lagi.” Dengan sabar aku menasehatinya.

“Sok tau kaka. Ka Kei selalu merasa sok paling benar. Ka Kei tidak usah sok perhatian sama aku. Ini tuh hari libur ka, jadi dipakai untuk liburan bukan untuk belajar. Kenapa aku tidak bisa sebebas teman-temanku.” Oliv, adikku membentakku.

Aku mulai marah, aku menasehatinya dengan baik-baik, tapi kenapa dia membentakku ? “Hey, kau ini tidak pernah punya sopan santun ? Jelas aku memperhatikanmu, aku ini kakakmu Liv. Coba kau rubah sikapmu, kamu sudah 13 tahun, jangan berlaku seperti anak TK, kasihan ibu dan ---“

“Alah, ka Kei, ibu, dan ayah sama saja, tidak bisa membuatku bahagia.” Oliv memotong kata-kataku lalu pergi membuka pintu dan bermain dengan teman-temannya.

Aku menoleh pada ibuku. Wajahnya merah dan basah. Ia menangis. Aku tak tega melihatnya, aku berlali menghampirinya. “Ibu sudah tidak tahan dengan perilaku adikmu, Ibu dan ayah bingung bagaimana caranya mengubah Oliv.” Kata ibu sambil terisak.

Kenapa kejadian ini harus terjadi hari ini. Hari terakhir aku ada di rumah ini sebelum aku berangkat ke Jerman. Tak ingatkah Oliv tentang hal ini ? Aku tidak bisa menahan air mata yang sudah di ujung mata, lalu aku memeluk erat ibuku. Sayang ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

***

Hari keberangkatanku ke Jerman pun tiba, ayah, ibu, Rista, Ifa, Sarah, dan teman-teman OSIS-ku mengantarku ke Bandara. Hanya satu yang kurang, Oliv. Marahkah ia padaku ? Setega itukah ia ?

“Rumah pasti akan sepi tanpa kehadiranmu, sayang.” Ujar Ibu.

“Ayah akan sangat merindukanmu, jaga diri baik-baik ya ka.” Kata Ayah dengan anada suara berat.

Aku peluk satu persatu teman-temanku sambil mengucapkan salam perpisahan. Lalu ku peluk ayah dan ibuku secara berbarengan. “Aku sayang ayah dan ibu, sangat. Aku juga pasti akan merindukan ayah dan ibu, juga Oliv, salam untuk Oliv.” Rasanya aku ingin menghentikan waktu, tidak ingin melepas pelukan ini. Tak terasa air mata telah membasahi pipiku, kuusap cepat. Sadar bahwa rombonganku telah menunggu, ku lepas pelukanku.

“Kurasa mereka sudah menunggguku, ayah, ibu juga baik-baik ya di sini.” Aku mundur selangkah, memandangi satu persatu teman-temanku, ayah, dan ibu. Aku membalikan badan, menghampiri rombonganku, lalu menatap mereka kembali. Aku melambaikan tangan, dibalas oleh lambaian tangan mereka.

Rasanya berat sekali meninggalkan mereka, orang- orang yang sangat ku sayangi. Aku pasti akan merindukan mereka. Setahun, bukan waktu yang sebentar. Tapi aku harus ikhlas. Oliv jaga dirimu baik-baik, jaga ayah dan ibu juga, jangan kecewakan mereka terus. Semoga kau mendengarnya. Aku harap saat aku pulang nanti, aku bisa melihat perubahan dalam dirimu.

Ya Rabb, aku percaya segala sesuatu akan indah pada waktunya.

***

Setahun Kemudian …

Aku telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Sudah lama rasanya tidak menginjakkan kaki di Indonesia. Aku rindu Indonesia. Aku melihat-lihat sekitar sambil menarik koperku. Sampai akhirnya aku melihat lambaian tangan beberapa orang. Ya, itu mereka. Ayah, ibu, dan teman-temanku. Aku segera menghampirinya, memeluk ayah dan ibu erat, sangat erat. Lalu memeluk teman-temanku juga. Ah aku sangat rindu kalian, senyum kalian.

“Akhirnya aku bertemu kalian lagi, aku sangat rindu kalian.” Ujarku yang dibalas tawa oleh ayah, ibu, dan teman-temanku.

“Oliv kemana bu, yah ?”

“Ia kebetulan ada acara di sekolahnya, menginap, jadi tidak bisa ikut menjemput.”

“ Oh begitu.” Aku mengangguk, walaupun rasa kecewa itu tetap ada .

Selanjutnya waktu selama perjalanan ke Bogor, kami habiskan untuk melepas rindu. Dan setelah tiba di rumah, teman-temanku sempat mampir sebentar ke rumahku, lalu pulang. Setelah kepulangan mereka, aku memutuskan untuk berkeliling rumah, aku ingin tahu apakah ada perubahan selama aku pergi ?

Dari mulai ruang tamu, tak ada yang berubah, di sana hanya ada sofa empuk dan deretan foro-foto keluarga. Tapi saat aku melihat ruang tengah, betapa terkejutnya aku saat meliahat deretan beberapa piala, ada sekitar 3 piala.

Kerena sangat penasaran, aku langsung memanggil ibu untuk menanyakan hal tersebut. “Bu, piala milik siapa ini ? Apakah ada penghuni baru yang tinggal di sini ?”

“Tidak ada ka, itu milik adikmu, Oliv. Ibu dan ayah belum sempat menceritakan ya. Beberapa hari semenjak kepergianmu ke Jerman, Oliv merubah sikapnya. Mungkin dia telah sadar.” Kata ibu menjelaskan.

Ternyata doaku dikabulkan oleh Allah. Sesuai harapanku, saat aku pulang, ia sudah berubah. Dari dulu aku tahu Oliv pasti akan berubah.

“Ya, senakal-nakalnya Oliv, ibu percaya kalau Oliv bisa berubah.” Kata ibu lagi, seakan bisa membaca pikiranku.

Aku mengangguk tersenyum. Aku semakin tak sabar bertemu dengannya. Seperti apa penampilan adiknya sekarang.

***

Malam harinya setelah makan malam, aku belum juga bertemu Oliv. Kata ibu ia akan pulang setelah ba’da Isya. Sambil menunggu, aku membereskan mencoba barang bawaanku. Tak lama kemudian, ada seseorang yang berdiri di depan pintu kamarku, aku memang sengaja tidak menutup pintu. Setelah kulihat, ya Rabb ternyata itu adikku, Oliv. Penampilannya agak berubah, ia terlihat lebih anggun sekarang. Masihkah ia marah padaku ? Masihkah ia ingat pertengkaran setahun yang lalu yang membuat ia sampai enggan mengantarku ke Bandara ?

Ia mulai melangkahkan kaki masuk kamarku, “Masihkah kau marah padaku ka ?”

Aku terdiam, belum ingin menjawab.

“Maafkan aku, aku emosi waktu itu, maka kata-kata yang keluar dari mulutku pun tak ku fikirkan dulu. Setelah keberangkatan kaka ke Jerman, aku baru menyadari, aku kesepian, tak ada teman untuk cerita, mengobrol, bercanda. Lalu aku berfikir, bila tak ada kak Kei berarti tak ada yang membanggakan ayah dan ibu. Kuputuskan untuk berubah, jika kak Kei bisa membanggakan ayah dan ibu, aku pun harus dan pasti bisa. Maafkan aku ka sekali lagi.” Lalu Oliv meteskan air mata, ia menangis. Aku segera menghampiri Oliv, lalu memeluknya. Betapa ia rindu pada adik kecilnya itu.

“Aku sudah memaafkanmu sejak malam itu. Aku percaya kau pasti bisa berubah. Kaka bangga padamu. Maafkan kaka juga ya, Liv.”

Akhirnya kamu berubah, Liv. Jangan kecewakan kami semua lagi dengan kenakalanmu. Aku mohon. Lama kami berpelukan, mencoba membayar kesalahan satu tahun yang lalu.

Aku tidak pernah bisa benar-benar marah padamu, Liv. Kau tahu kenapa ? karena aku sangat menyayangimu, adik kecilku.

***

selesai deh, gimana ? komen yaa ? thankyou very much :D

5 komentar:

Suprih Rustanto mengatakan...

Salam kenal kak, saya suka gaya penulisannya, sederhana namun sangat berbobot. semoga saya bisa mencotohnya, saya ingin sperti kakak dan saat ini saya sedang mengejar beasiswa 2010, semoga tercapai...

Atika Almira mengatakan...

alurnya klise, nov. --> sangat jujur
yah, tapi setiap cerita punya keistimewaan masing-masing :) dan cerita ini real, makanya pnya nyawa --> sok tahu LOL

novi andareswari mengatakan...

klise gimana tik ?

Unknown mengatakan...

heh... knapa pake nama asli indri sih?? ckckck..
setengah nyata setengah fiktif kan ceritanya?? hha...

novi andareswari mengatakan...

hehe maap ya.

Posting Komentar

ayo komen ayo :)